Diberdayakan oleh Blogger.

Kamis, 29 September 2011


Ada suatu kisah menarik dan mengesankan yang ditulis oleh Winarno Surakhmad dalam artikelnya yang bertajuk Bagaimana Membunuh Potensi Belajar Anak (Fasilitator Edisi Tahun 2003). Kisah yang menggetarkan hati itu berkaitan erat dengan tugas kita sebagai pendidik.Untuk menyegarkan kembali ingatan kita tentang kisah itu, akan saya ceritakan kembali dalam bahasa ungkap saya. Pada suatu ketika berkunjunglah seorang pakar pendidikan ke suatu daerah. Maksud kedatangan pakar itu tak lain dan tak bukan adalah untuk melihat secara langsung proses pembelajaran di kelas. Ia mengunjungi sekolah yang kedisiplinannya patut diacungi jempol. Guru-guru di sekolah itu bersemangat tinggi dan memiliki kedisiplinan tinggi pula. Mereka –para guru itu- selalu datang ke sekolah pagi-pagi sekali, lebih pagi dari penjaja makanan atau minuman anak-anak sekolah. Istirahatnya tidak pernah molor, misalnya waktu istirahat 15 menit menjadi 30 menit. Pulangnya pun demikian, selalu tertib dan disiplin.

Kedisiplinan mereka tidak hanya luarnya saja, tetapi diterapkan juga dalam kelas atau dalam pembelajaran. Ketika gurtu menjelaskan materi pembelajaran, murid-murid harus menyimak dengan cermat. Tidak boleh seorang muridpun berbicara, kecuali dengan ijin guru. Murid-murid harus duduk di kursinya masing-masing sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya. Jangan menoleh ke kanan dan ke kiri. Pandangan harus selalu ke depan. Apabila aturan ini dilanggar, hukuman akan segera mendera murid-murid di sekolah itu.Apa yang dikatakan oleh pakar pendidikan itu setelah mengamati proses pembelajaran yang dideskripsikan di atas? Sungguh di luar dugaan kepala sekolah dan guru, mungkin juga pengawasnya. Kata pakar itu, “Di sekolah ini, sungguh banyak calon-calon ilmuwan yang mati muda.” Mendapat komentar seperti itu, tentu saja kepala sekolah dan guru-guru terkejut alang bukan kepalang. Mereka bagaikan disambar petir disiang bolong.
Yang dimaksud mati muda sebagaimana yang dikatakan oleh pakar pendidikan itu ialah bukanlah mati secara fisik, melainkan potensi anak yang mati. Potensi anak di sekolah itu tidak dapat berkembang secara wajar karena kesempatan dan kebebasan yang terempas oleh guru. Hal ini mengingatkan saya pada pernyataan Neil Postman, seorang professor dari Universitas New York. Pernyataan Neil Postman yang menggugah ini saya temukan dalam buku Sekolah Para Juara karya Thomas Amstrong (Kaifa, 2004). “Anak datang ke sekolah sebagai tanda Tanya dan lulus sebagai tanda titik,” katanya. Dalam hati yang paling dalam, sebagai guru tentu kita tidak ingin murid-murid kita tidak dapat mengembangkan potensinya secara wajar. Kita ingin mereka mulai masuk sekolah sampai lulus tetap sebagai tanda Tanya. Bahkan sampai kapanpun kita tetap berharap mereka tetap sebagai tanda Tanya. Kita ingin sekolah kita menjadi sekolah yang baik. Sekolah yang menurut Michael Alexander dalam buku The Learning Revolution karya Gordon Dryden dan Jeannette Vos (Kaifa, 2004) adalah sebuah sekolah tanpa kegagalan … semua murid teridentifikasi bakat, ketrampilan, dan kecerdasannya yang memungkinkan mereka menjadi apa saja yang mereka inginkan. Nah, apa yang harus dilakukan oleh kita –guru- agar tidak menjadi mesin pembunuh murid-murid kita sendiri? Jelas, kita harus segera menemukan solusinya. Dan terutama sekali, setelah ditemukan solusinya, adalah penerapan di lapangan. Tak ada gunanya banyak solusi, tanpa pengejawantahan secara nyata di sekolah.

Saat ini sudah banyak para pakar dan praktisi pendidikan yang menawarkan jalan keluarnya. Ada Quantum Learning dan Quantum Teaching karya Bobbi De Porter dan Mike Hernacki. Ada pendekatan SAVI (Somatik, Auditorial, Visual, dan Intelektual) ciptaan Dave Meier. Ada pendekatan Contextual Teaching and Learning (Pembelajaran Kontekstual). Ada juga strategi pembelajaran berbasis kecerdasan majemuk yang dikupas tuntas oleh Thomas Amstrong dalam buku Sekolah Para Juara. Atau strategi yang tidak asing lagi bagi kita, yaitu PAKEM (Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan). Tak kalah kreatif, Muh durori –salah seorag guru SD di Jawa Tengah- turut andil mengembangkan suatu model pembelajaran yang ia namakan Model Pembelajaran Mandiri.
Strategia atau pendekatan yang saya sebutkan di atas, kalau diibaratkan barang elektronik –misalnya televisi- perbedaannya terletak pada merknya. Ada televisi merk sony, ada televisi merk LG, dan televisi merk lainnya. Substansinya banyak persamaan – kalau tidak mau dikatakan sama – dan sedikit perbedaan yang tidak prinsip. Semua strategi atau pendekatan tersebut di atas pada hakekatnya bermuara pada pemberdayaan dan penemuan siswa dalam pembelajaran.

Adapun strategi atau pendekatan yang dipilih dari beberapa strategi heuristic di atas, perlu diperhatikan beberapa hal dalam pembelajaran:
• Belajar akan Efektif dalam Keadaan “Fun” (menyenangkan). Secara meyakinkan, kalimat ini tertera pada halaman judul dalam buku The Learning Revolution. Ini mencerminkan keinginan kuat pengarangnya agar kalimat revolusi ini benar-benar diperhatikan dan diterapkan dalam pembelajaran. Apa alasannya? Ada berbagai teori tentang otak manusia. Salah satu teori tentang otak yang banyak dikupas dalam pendidikan adalah apa yang disebut oleh Dave Meier dalam bukunya, The Accelerated Learning Hand Book (Kaifa, 2004), sebagai Teori Otak Triune. Teori ini menyatakan bahwa otak manusia terdiri tiga bagian, yaitu otak reptil, otak tengah (sistim limbik), dan otak berpikir (neokorteks). Jika perasaan pembelajaran (siswa) dalam keadaan positif (gembira, senang), maka pikiran siswa akan “naik tingkat” dari otak tengah ke neokorteks (otak berpikir). Inilah yang dimaksud dengan belajar akan efektif. Sebaliknya, manakala perasaan siswa dalam keadaan negative (tegang, takut) sebagaimana yang dikisahkan pada awal tulisan ini –pembelajaran meliteristik- maka pikiran siswa akan “turun tingkat” dari otak tengah menuju otak reptile. Pada situasi ini belajar tidak akan berjalan atau berhenti sama sekali.

• Belajar adalah Berkreasi, Bukan Mengkonsumsi. Sudah bukan zamannya lagi anak disuapi, tetapi ia harus menciptakan sendiri. Pembelajaran harus berpusat pada siswa, bukan berpusat pada guru. Oleh karena itu, pada saat merancang pembelajaran, guru harus memikirkan apa yang akan dilakukan siswa, bukan apa yang dilakukan guru. Apabila guru masih mempertahankan pembelajaran konsumtif dengan metode unggulannya ceramah, maka kemampuan siswa menurut Winarno Surakhmad (Fasilitator, Edisi I Tahun 2003), akan sedikit lebih tinggi dari kemampuan seekor monyet yang pandai.

• Belajar yang Baik itu Bersifat Sosial. Tak perlu diragukan lagi manfaat yang akan dirasakan jika belajar dilakukan dalam kelompok. Berkali-kali riset dilakukan untuk membuktikan keefektifan belajar kelompok. Hasilnya memang selalu menunjukkan bahwa belajar akan lebih berhasil, bahkan keberhasilannya berlipat-lipat, jika dilakukan secara kelompok ketimbang belajar secara individual.

• Belajar yang Baik Juga Bersifat Multi Inderawi. Siswa belajar dengan gayanya masing-masing. Kita tidak dapat memaksakan suatu gaya belajar yang bukan gayanya kepada seorang siswa. Setidaknya ada tiga gaya belajar, yaitu gaya visual, gaya auditorial dan gaya kinestik. Dengan melibatkan seluruh indera dalam pembelajaran, semua gaya belajar itu akan terlayani. Kalau semua siswa terlayani, belajar akan berjalan efektif.
Belajar Terbaik dalam Keadaan Alfa. Sebagaimana stasiun pemancar radio atau televisi, otak manusia juga bekerja pada gelombang atau frekuensi tertentu. Ketika kita dalam keadaan terjaga atau sadar penuh, otak bekerja pada gelombang Beta. Manakala kita sedang waspada relaks, otak bekerja pada gelombang Alfa. Otak kita akan bekerja pada gelombang Theta jika kita mengangguk atau hamper tertidur. Dan pada saat tertidur pulas, otak kita bekerja pada frekuensi Delta. Mengapa belajar terbaik itu pada frekuensi Alfa? Karena sebagian besar memori kita disimpan di pikiran bawah sadar. Dan yang dapat menghantarkan memori ke pikiran bawah sadar adalah gelombang Alfa. Lalu bagaimana mencapai kondisi Alfa? Dengan meditasi atau dengan mendengarkan musik. Apa yang saya paparkan di atas hanya akan menjadi pemanis bibir bila tidak ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Keberhasilan memerlukan keberanian dan aksi. Jangan takut pada kegagalan. Kegagalan sebenarnya merupakan jalan terang menuju keberhasilan. Kata Ary Ginanjar Agustian dalam buku ESQ Model (Arga, 2001), kegagalan itu ibarat menggosok intan berlian. Semakin sering kita gagal, semakin sering juga kita menggosok intan. Niscaya intan berlian itu akan semakin bersinar.
Demikian pokok-pokok pembelajaran masa kini yang dapat saya sajikan. Semoga tulisan yang saya ramu dari beberapa buku dan sekelumit pengalaman pribadi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Kekurangan di sana sini tentu merupakan keniscayaan. Selamat memberdayakan siswa.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:
Free Blog Templates